Wah Kemewahan

Wah Kemewahan_2

PANAS terik tak surutkan tekad Blok terus langkahkan kaki. Pemuda nggak jelas ini tidak acuhkan telapak kaki yang kepanasan menginjak aspal. Entah mau uji ilmu kanuragan atau apa, Blok hari itu pergi telanjang kaki alias tanpa sehelai pun benda mengalasi kakinya. Kondisi jalan aspal yang panas tersengat matahari pasti lepuhkan kaki Blok. Nyatanya dia tetap santai melenggang berjalan.

Tidak ada yang tahu mau ke mana Blok pergi. Pun tidak ada yang bisa pastikan sudah berapa kali kakinya mengayun. Mungkin pemuda perantauan ini sudah melebihi anjuran kesehatan untuk berjalan 10 ribu langkah per hari.

Akhirnya Blok menghentikan langkah. Dia berdiam diri di perempatan jalan. Bekerling kanan-kiri dia saksikan orang-orang sibuk membangun jalan layang.  Begitu pun dia dengarkan auman klakson kendaraan yang ingin perjalanannya segera lancar mewarnai terik siang itu.

Blok yang kelelahan duduk di trotoar. Nafas dia hela panjang. Peluh mengalir pelan di pelipisnya.

“Hai, Blok!” tiba-tiba terdengar ada seseorang yang memanggil nama Blok.

Seketika Blok yang leyeh-leyeh di trotoar tengok kanan-kiri mencari sumber suara yang memanggil namanya. Tak disangka tak diduga, ternyata tak lain dan tak bukan adalah seseorang yang berada dalam mobil mewah. Seseorang ini bukan si pengemudi. Sosok yang baru saja menyapa Blok adalah orang yang duduk manis di jok belakang, posisi favorit sekelumit makhluk berduit.

Gob mencungul dari sunroof mobil bertipe limusin tersebut. Dengan pakaian necis berjas dan berdasi, pemuda yang usianya sebaya Blok itu melambaikan tangan. Bukan seperti melambaikan tangan pertanda menyerah dalam acara TV yang ditayangkan malam hari itu. Melainkan melambaikan tangan ala calon pejabat yang sedang kampanye. Persis seperti mereka yang mencoba merayu agar ada mau memilihnya dalam kontestasi pemilihan umum. Dengan wajah yang cerah dan sumringah, Gob memanggil Blok sambil separuh badannya keluar dari atap mobil.

Tentu saja Blok melongo melihat apa yang ada di depan matanya. Gob adalah sahabat seperjuangan Blok. Keduanya senasib sepenanggungan, sama-sama masih muda, sama-sama nggak jelas, sama-sama serabutan, sama-sama sering berhutang, dan persamaan-persamaan lain. Sekarang jelas ada yang berbeda dan berubah.

Secara kasat mata, Gob jauh melesat meninggalkan ketidakjelasan hidupnya yang dulu, saat masih bersama Blok. Penampilan Gob berubah drastis. Dulu, gaya rambutnya disebut panjang belum bisa, disebut pendek sudah tidak mungkin. Tatanan rambutnya juga dibiarkan –atau kadang sengaja dibuat– berantakan. Entah sudah berapa ratus ekor kutu yang berkoloni dan hidup sejahtera dalam rimbunan rambut Gob kala itu.

Gaya dan tatanan rambut Gob yang sedemikian rupa tinggal sejarah. Kini Gob tampil percaya diri. Gaya skin fade yang sedang trendi dia pilih sebagai variasi. Gob pun dengan sengaja memanjangkan rambut bagian atas kepalanya agar bisa diikat sehingga menambah kesan gaul. Mungkin juga dia mengikuti style sosok wakil walikota yang sebelumnya berlatar belakang vokalis grup musik itu. Bajunya? Jangan tanya lagi. Gob sudah tidak lagi mengenakan anyaman benang lusuh yang itu-itu saja.

Priiiitt! Suitan peluit tiba-tiba terdengar. Sejurus kemudian Gob mengeluarkan kartu berwarna kuning dari sakunya. Dia pun mengacungkan kartu itu dan mengarahkannya pada saya.

“Sudah! Sudah! Jangan membahas penampilan baru Gob!” protes Blok kepada saya yang belum selesai menggambarkan performa Gob sore itu.

“Kembali lagi lanjutkan ceritanya!” perintah Blok kepada saya.

Lalu saya pun menyempatkan menyeruput teh manis dalam kemasan berbentuk kotak sebelum melaksanakan mandat Blok.

Blok yang masih kelelahan berjalan pelan menghampiri sahabatnya itu. Dengan penuh keramahan, dibukakan pintu belakang mobil itu agar Blok bisa langsung masuk.

Benar-benar bertolak belakang antara apa yang ada di dalam mobil dibandingkan dengan kondisi luar. Di dalam limusin, Blok merasakan kesejukan yang belum pernah dia alami sepanjang hidupnya. Jok yang dia duduki begitu nyaman seperti tempat duduk pejabat yang membuatnya mudah terlelap dalam mimpi.

“Mulai lagi deh. Aku mau mengobrol dengan Gob nih! Mau aku kasih kartu kuning lagi?!” Blok protes lagi ke saya yang mencoba menuliskan suasana yang dia rasakan di dalam mobil mewah Gob.

“Siap, Blok! Sekarang silakan kalian mengobrol sesuka hati,” sahut saya pada Blok yang sedang menyandarkan diri pada jok yang luar biasa empuk itu.

“Waaah, kamu apa kabar, Gob?” ujar Blok membuka pembicaraan.

“Ya beginilah aku sekarang. Ke mana-mana bisa naik mobil yang tergolong mewah kata orang-orang. Penampilanku juga dinilai sudah jauh lebih modis dari sebelumnya. Makanan dan minuman yang kukonsumsi pun minimum berada pada angka ratusan ribu rupiah per satu porsinya. Hasil dari pekerjaanku juga melesat lebih tinggi dari yang sebelumnya,” jawab Gob sembari memasang muka datar bercerita pada sahabat yang lama tak dia jumpai tersebut.

“Benar-benar sudah berubah drastis ya kehidupanmu sekarang,” kata Blok terkagum-kagum melihat Gob.

“Ya kita syukuri saja apa yang terjadi sekarang ini. Oh iya, mumpung ketemu kamu, aku mau minta maaf ya.”

“Minta maaf opo?” tanya Blok.

“Dulu aku sering galak. Aku sering marah-marah sama kamu. Seiring bertambahnya usia, aku kini merasa bisa lebih sabar menghadapi segala sesuatu yang menimpaku. Maafkan aku ya, Blok. Sekarang aku sudah mengurangi kegalakanku, jadi kadang-kadang saja galak,” ungkap Gob.

“Heuheuheuheu. Kamu sekarang kerjanya apa kok bisa seperti sekarang ini?” tanya Blok penasaran.

“Kerja mah apa saja yang penting capek,” jawab Gob mencomot kutipan Pidi Baiq.

“Aku juga mau dong kerja seperti kamu. Bisa punya mobil mewah, penampilan modis, gawai mahal keluaran terbaru, makan enak, dan lain-lain pokoknya banyak deh.”

“Yakin kamu kuat menghadapi kehidupan kayak begini, Blok?”

Gob takut kalau membeberkan rahasia sehingga dia bisa jadi seperti sekarang ini ditiru oleh sahabatnya. Bukan karena takut kekayaannya tersaingi, melainkan resah kalau Blok belum kuat lahir batin. Gob khawatir Blok justru lupa diri kalau tiba-tiba jadi kaya. Blok bisa saja nanti larut dalam lautan kemewahan, lupa daratan, dan akhirnya tenggelam ditelan banda.

Entah mana yang benar. Bagi orang yang ingin kaya, mereka tidak kunjung dapat kekayaan sesuai keinginan karena mungkin kurang gencar dalam berusaha mendapatkannya. Seiring berputarnya waktu, seiring kerja dan doa yang tak kunjung putus dilakukan, mereka baru bisa dikatakan matang dan siap sehingga melimpahlah kekayaan sesuai keinginannya.

Mungkin pula Tuhan sebagai Al Alim memang belum menghendaki mereka jadi kaya. Sebabnya, Tuhan tahu betul insan ciptaan-Nya belum siap jadi kaya. Dengan demikian, Dia belum kabulkan permintaan manusia-manusia yang ingin kaya, seberapa hebat pun usaha dan doa mereka untuk bisa mendapatkannya.

Kemungkinan lain, mereka tidak sadar sesungguhnya sudah kaya. Mereka cenderung menilai kekayaan dari uang, uang, dan uang. Mungkin mereka belum paham ada banyak yang lebih bernilai dari uang. Oleh karena itu mereka tidak henti-hentinya berdoa dan berusaha untuk bisa kaya menurut definisi mereka. Tanpa disadari kekayaan itu sudah ada bahkan sejak keinginan itu belum melintasi pikiran mereka.

Dan mungkin masih banyak lagi kemungkinan-kemungkinan yang lain.

“Aku bisa learning by doing, Gob. Jadi sudah pasti aku akan siap,” katanya meyakinkan sahabatnya itu agar mau berbagi ilmu mendapatkan kekayaan.

Yo wis, aku mau berkisah awal mula kenapa aku bisa seperti sekarang ini. Terserah kamu mau mengikutinya atau tidak. Yang jelas, segala risiko kamu tanggung sendiri ya,” sahut Gob mewanti-wanti.

“Aku pasti siap, kawan!” jawab Blok mantap.

“Aku dulu benci dengan yang namanya kemewahan,” ungkap Gob mengawali kisahnya.

Selidik punya selidik ketidaksukaan pemuda ini pada kemewahan ada banyak sebab. Gob pernah sangat tidak suka dengan kelakukan orang kalangan atas. Menurutnya, orang-orang kaya adalah makhluk yang sombong. Mentang-mentang punya duit banyak lalu seenaknya melakukan sesuatu sesuka hati. Tidak hanya itu, mereka pun tak segan mengerahkan duitnya untuk membeli sesuatu yang bahkan sebelumnya haram diperjual-belikan sekali pun.

Meski begitu, dalam lubuk hatinya yang paling dasar, Gob sangat yakin tidak semua orang kaya yang berkelakuan seperti itu. Pasti ada orang kaya yang tetap melakukan hal-hal baik.

“Entah bagaimana suatu hari segala sesuatunya mendadak berubah hingga menuntunku menjadi seperti sekarang ini,” tutur Gob melanjutkan ceritanya.

“Mungkin Tuhan sedang mengujiku dengan limpahan kemewahan ini. Dia ingin tahu, meskipun Dia pastinya juga sudah tahu, agar aku mengalami seperti apa rasanya jadi orang kaya. Biar aku tahu sendiri, biar aku mengalami sendiri, ternyata seperti ini masuk ke golongan jetset,” lanjutnya.

“Lalu sekarang kamu mau apa, Gob?”

“Entah, aku sekarang takut berkeinginan. Aku juga takut membenci sesuatu maupun seseorang. Bisa-bisa aku nanti dijadikan agar merasakan sesuatu yang aku benci atau dijadikan sama persis nasibnya seperti orang yang kubenci. Bukan hanya itu, aku khawatir orang-orang terdekatku bahkan tidak menutup kemungkinan justru keturunanku yang ditakdirkan menjadi sesuatu atau seseorang yang aku pernah benci sebelumnya. Rasanya aku belum siap menghadapi itu,” tutup Gob. (dsk/)

 

Leave a comment